Sosialisasi Cara Pengolahan Pangan Yang Baik Bagi Pengrajin Tempe Desa Mlirip Mojokerto

 

[Foto] Peserta Sosialisasi 
Mojokerto | LPM BukPoIn - Tempe merupakan produk makanan berprotein tinggi yang dihasilkan dari proses fermetasi kedelai. Masyarakat Indonesia sudah tidak asing dengan makanan tempe dan olahannya yang memiliki rasa khas sehingga sangat disenangi oleh semua kalangan . 

Tempe kebanyakan diproduksi oleh industri kecil dengan menggunakan teknologi  sangat  sederhana  serta pengetahuan dari pengrajin  yang terbatas sehingga kualitas tempe yang dihasilkan terkadang tidak stabil. 

Desa Mlirip kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto merupakan sentra pengrajin tempe dengan kapasitas produksi antara 50 kg sampai 1.000 kg per hari dengan kualitas rata-rata sama  antara pengrajin yang satu dengan yang lainnya. 


Berawal dari program insentif Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) 2022 yang dilaksanakan di  salah satu pengrajin desa Clangap, kegiatan pengabdian masyarakt terus berlanjut untuk pengrajin tempe. Saat ini kegiatan pengabdian masyarakat yang diketuai oleh ibu Lusi Mei Cahya W, M.T berusaha memetakan penerapan Cara Pengolahan Pangan yang Baik (CPPB)  pada 7 pengrajin tempe yang ada di desa Mlirip. 


Hasil dari pemetaan menunjukkan bahwa sebagian besar pengrajin belum menerapkan CPPB. Sebagai tindak lanjut dari pemetaan tersebut perlu dilakukan Sosialisasi tentang penerapan CPPB agar pengrajin dapat mengembangkan usahanya baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut sejalan dengan harapan Lurah desa Mlirip bapak Ir.Purwanto yang ingin menjadikan desanya sebagai salah satu pusat oleh oleh khususnya tempe. 


Kegiatan sosialisasi dilakukan pada 2 Desember 2023 dengan menghadirkan narasumber dari Rumah Tempe Indonesia (RTI) yaitu bapak Sukhaeri, Ketua Koperasi Tempe Jawa barat yang menaungi RTI. 

Acara yang berlangsung di Balai Desa Mlirip Mojokerto dihadiri oleh 7 pengrajin Tempe serta perangkat desa Mlirip. Dalam sambutan nya , Lurah Desa Mlirip sangat antusias untuk mendorong para pengrajin tempe didesanya agar bisa menghasilkan produk  berkualitas  memenuhi Standar Industri Indonesia (SNI) Beliau juga mempunyai harapan besar  agar tempe dapat menjadi produk unggulan desa Mlirip yaitu dengan  membuat koperasi pusat oleh-oleh yang menaungi pengrajin tempe sehingga para pengrajin bisa bekerja sama dalam berinovasi melakukan diversifikasi produk seperti kripik tempe, bentuk lauk pauk yang bisa difrozen , kue , minuman , ice cream dan sebagainya. 


Bapak  Sukhaeri SP, SE  mengatakan, bahwa kalau berbisnis harus menyeluruh. 


"UKM harus mau membuka diri, bila ada penilaian dan saran dari para ahli jangan mengkerut atau minder," Ujarnya.


Bapak Sukhaeri juga selalu memotivasi para pengrajin  agar mau berubah dari  memproduksi tempe yang  selama ini biasa -biasa saja menjadi tidak biasa  yaitu menjadi tempe yang  higienis dan berkualitas. Pengrajin nyaris tidak mau berubah karena punya paradigma.


"Dengan begini saja sudah laku, buat apa susah-susah melakukan perubahan,"Ulasanya.


Memang secara fisik tidak bisa membedakan tempe biasa dengan higienis, yang membedakan adalah kandungan nutrisinya, kemudian daya simpan yang lama karena  menggunakan peralatan yang  memiliki standar keamanan pangan yaitu dengan  berbahan stainlees steel. Sosialisasi kemudian dilanjutkan oleh Bapak Bela Putra selaku Direktur Operasional RTI, beliau menjelaskan    tahapan proses yang dilakukan  di RTI , dikatakan  ada 11 tahapan 

 

"Pembersihan kedelai dari kotoran , perenadaman , perebusan, pecah kulit dengan mesin, pisah kulit, mencuci kedelai yang sudah lepas kulitnya , penyiraman  denga air mendidih utk membunuh bakteri yang mengganggu , penirisan, peragian, pengemasan ukuran standar, difermentasi 48 jam , siap dikonsumsi,"imbuhannya.


Bapak Bela mengungkapkan, bahan baku tempe hanya kedelai, air dan ragi.


"Kedelai lokal lebih bagus karena kandungan nutrisi tinggi dan rasa lebih enak disbanding dengan kedelai manapun, masalahnya kedelai lokal produksinya  terbatas dan tidak stabil, dan harganya lebih mahal," tuturnya.


Air yang digunakan juga harus memiliki standar kualitas air bersih.

Pengrajin disarankan menggunakan peralatan yang higienis sehingga bisa menghasilkan tempe yang berkualisa tinggi yaitu tahan lama dengan kandungan nutrisi yang tinggi. Kalau sudah bisa memproduksi tempe yang higienis kemudian disarankan juga untuk membuat merek yang menarik  supaya konsumen lebih mudah mengenali. 


Kendala atau  masalah  yang sering dihadapi dan perlu mendapatkan perhatian khusus dari pengrajin adalah membuat suhu fermentasi yang  stabil yaitu berkisar 29-31 C . Bagaimana caranya?.


Disarankan bila udara dingin ditambahkan lampu pemanas dan  bila udara panas tempat fermentasinya dipasangi  exhous fan sehingga ada sirkulasi udara . Masalah handling saat pemasaran karena terpapar panas sehingga tempe menjadi lebih cepat rusak.

[Foto] peserta sosialisasi menyimak penjelasan dari bapak Sukhaeri, Ketua koperasi presiden tahu tempe 
Para peserta sosialisasi sangat antusias dan suasana diskusi sangat hidup, salah satunya ada yang bertanya masalah peragian basah dan peragian kering


Bapak Bela  mengatakan, peragian basah adalah peragian yang dilakukan pada kondisi basah yang artinya ragi yang digunakan langsung dimasukkan kedalam kedelai yang masih terendam air kemudian baru ditiriskan,  sedangkan peragian kering raginya dicampurkan pedalam kedelai yang sudah ditiriskan dan keadaan dingin. 


Kelebihan dari peragian basah yaitu proses pencampuran ragi lebih mudah dan homogen namun produk yang dihasilkan kurang padat dan lebih cepat mengalami kerusakan, sedangkan kelebihan dari peragian kering adalah tempe yang dihasilkan padat dan tahan lama namun juga ada kekurangannya yaitu  pencampuran ragi dengan kedelainya lebih sulit homogen.


Bapak Lurah Purwanto juga menanyakan masalah pengelolaan limbah cairnya yang menimbulkan masalah pencemaran bagi lingkungan disekitarnya.


"Agar pengrajin membuat IPAL secara berkelompok untuk mengurangi biaya atau dengan membuat biogas sehingga dapat dimanfaatkan untuk produksi kedelai.  Harapan tim pelaksana pengabdian masyarakat UKDC agar pengrajin mendapat manfaat dari penjelasan RTI dan dapat menerapkan praktik dalam CPPB  sehingga usahanya semakin berkembang," Tutupnya.


Penulis : Nyoman Sri

Editor : Rud